5 Hal Dasar Yang Perlu Anda Ketahui Tentang PBB

PBB

Pajak Bumi dan Bangunan atau lebih sering disebut PBB merupakan pajak negara yang berkaitan dan dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan. Masyarakat yang memiliki bangunan yang termasuk dalam objek PBB wajib membayar PBB. Ketentuan mengenai PBB tertuang dalam UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994. Berikut ini ada 5 hal yang perlu Anda ketahui tentang PBB.

1.Definisi dan Objek PBB

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ialah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994. PBB merupakan pajak bersifat kebendaan, secara umum besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

Menurut UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994, pasal 2 ayat (1), yang termasuk sebagai objek pajak adalah bumi dan bangunan. Dalam hal ini pengertian bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Sedangkan yang termasuk bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.

Ada beberapa tempat yang termasuk dalam bangunan, antara lain

  • Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
  • Jalan TOL;
  • Kolam renang;
  • Pagar mewah;
  • Tempat olah raga;
  • Galangan kapal, dermaga;
  • Taman mewah;
  • Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
  • Fasilitas lain yang memberikan manfaat;

2.Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Berdasarkan Pasal 4 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 , dijelaskan mengenai subjek PBB. Mereka adalah orang atau badan yang secara nyata :

  • mempunyai hak atas bumi/tanah, dan/atau;
  • memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan/atau;
  • memiliki, menguasai atas bangunan dan/atau;
  • memperoleh manfaat atas bangunan.

Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak  menjadi Wajib Pajak menurut UU PBB. Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro. Apabila suatu objek pajak tidak diketahui secara jelas siapa yang akan menanggung pajaknya maka yang menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak adalah Direktorat Jenderal Pajak.

3. Tarif Pajak

Seperti yang tertuang dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994, adapun tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 %. Dan di dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. Pasal 2 (3) KMK-523/KMK.04/1998 diatur tentang dasar pengenaan PBB.  Dalam hal ini yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya. Meski pada dasarnya penetapan nilai jual objek pajak adalah tiga tahun sekali, namun untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan nilai jual objek pajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. Dalam menetapkan nilai jual, Menteri Keuangan mendengar pertimbangan Gubernur serta memperhatikan asas self assessment.

4. Dasar Penghitungan PBB

Dasar Penghitungan PBB telah diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. PP No.25 Tahun 2002. Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak atau NJKP, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. NJKP ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100%. Besaran persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Contoh :

Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 1.000.000,00 dan persentase Nilai Jual Objek Pajak misalnya 20%. Maka Nilai Jual Kena Pajak  adalah 20% x Rp 1.000.000,00 = Rp200.000,00

Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP

a. Jika NJKP = 40% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya PBB

= 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)

= 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)

b. Jika NJKP = 20% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya PBB

= 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)

= 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)

5. Pembebasan PBB Bagi Rumah Murah dan Bangunan Sosial

Ada kabar gembira bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang memperoleh fasilitas rumah murah. Rencanya pada tahun 2016, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) menargetkan pemberlakuan bebas pembayaran PBB bagi rumah murah, tempat ibadah dan bangunan sosial. Seperti yang dikutip dalam Kompas.com, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Ferry Mursyidan Baldan memaparkan alasan penghapusan PBB ini karena pemerintah tidak ingin masyarakat berpenghasilan rendah melepaskan fasilitas rumah murah yang bisa mereka peroleh karena tidak mampu membayar pajak.

Bagi masyarakat bepenghasilan rendah, mereka bisa memperoleh pembebasan PBB dengan mengajukan permohonan keringanan membayar PBB. Dari pengajuan tersebut, nantinya pemerintah akan melakukan verifikasi atas data yang disampaikan warga. Menurut Ferry, pembayaran PBB hanya akan dikenakan setiap tahunnya terhadap bangunan komersial seperti rumah toko, pusat perbelanjaan, gedung perkantoran dan restoran. Pemerintah hanya akan memungut biaya PBB terhadap masyarakat saat awal pembelian lahan tanah atau rumah huni.

Siapa saja yang dibebaskan dari PBB? Inilah Subjek Pajak Yang Bebas PBB

Komentar