
Inilah Alasan Pasar Properti Indonesia Melambat
Penjualan properti di Indonesia tahun ini sedang melesu akibat regulasi properti yang simpang siur, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar serta tingginya suku bunga KPR.
Semester I tahun 2015 sudah lewat dengan sejumlah catatan menarik buat bisnis properti di Indonesia. Ketika Anda, para pembeli menuda untuk memiliki properti sepanjang semester 1 kemarin, maka di saat yang sama, pengembang properti yang tergabung dalam organisasi Perhimpunan Real Estate Indonesia (REI) mencatat penurunan penjualan properti hingga mencapai 20% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini berpotensi bertambah lagi hingga akhir tahun, jika saat paruh kedua tahun ini, iklim bisnis properti belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
Rumah123.com , mencatat sejumlah hal yang menjadi sebab, mengapa pasar properti menunjukkan pelambatan hingga menurunkan penjualan properti selama semester I 2015 ini. Berikut faktor-faktor penyebab itu:
Efek 2014
Properti di Indonesia mulai melambat sejak 2014. Ini merupakan komplikasi dari sejumlah penyebab seperti hantaman aturan mengenai Loan to Value yang sangat memukul bisnis properti sejak dikeluarkan pada 2012 dan disusul dengan LTV kedua yang lebih ketat di tahun 2013. Kondisi politik di Indonesia tidak menjadi faktor fundamental untuk pelambatan di tahun 2014. Efek pelambatan di 2014 ini ternyata tidak mengalami rebound dan bergerak kembali di tahun 2015.
Simpang siur rencana diregulasi sejumlah aturan
Gencarnya adu statemen antara para pembantu presiden mengenai sejumla hal seperti penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan, standarisasi Nilai Jual Obyek Pajak, penurunan batasan rumah mewah dari harga Rp 10 miliar menjadi hanya Rp 2 miliar hingga polemik kepemilikan properti oleh asing, membuat pasar bingun dan harus menunggu.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Merosotnya nilai tukar rupiah hingga menyentuh angka Rp 13.000 per US$ otomatis berdampak pada sentimen pasar. Pengembang maupun konsumen atau investor akan memendam harapan untuk bisa membelanjakan uangnya di sektor properti. Mungkin dari aspek biaya produksi, pengembang akan melakukan penyesuaian pada beberapa elemen harga, namun konsumen pun mulai mengalami kemerosotan dalam hal daya beli.
Suku bunga KPR
Suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) yang dipatok pada angka 7.5% sejak Februari 2015 sampai dengan saat ini membuat perbankan pernyalur Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pun bergeming dan mematok suku bunga KPR mereka. Tingginya suku bunga KPR yang berkisar antara 10% hingga 13% menjadi salah satu sebab keengganan konsumen membelanjakan uangnya di sektor properti dengan menggunakan uang bank.
Penulis : Ferdinand Lamak
Foto : AturDuit
Komentar