
Kerugian Finansial Akibat Dampak Kabut Asap
Kebakaran hutan dan lahan di beberapa provinsi menimbulkan kerugian finansial yang mencapai Rp 20 triliun
Beberapa bulan ini, Indonesia sedang berduka. Berduka karena bencana asap yang tak kunjung usai. Bahkan, dampak kabut asap ini terus melebar dan menerpa daerah-daerah di Indonesia. Akibatnya, bukan hanya menelan kerugian finansial yang mencapai miliaran rupiah saja, namun juga menimbulkan sumber penyakit yang bisa mengganggu kesehatan manusia.
Kerugian demi kerugian akibat dampak kabut asap ini terus bergulir. Dampak ekonomi paling terasa di sejumlah provinsi yang terkena imbas dari mengepalnya asap di daerah mereka. Dilansir dari beberapa sumber, kerugian finansial akibat dampak kabut asap ini mencapai Rp 20 triliun. Angka tersebut berdasar dari data tahun lalu, di mana pernah terjadi bencana yang sama selama tiga bulan dari Februari sampai April. Dan itu hanya berasal dari Provinsi Riau.
Sementara kabut asap yang saat ini melanda Indonesia, sudah tersebar di beberapa provinsi. Kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap tahun ini terjadi di Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Pun, dampaknya melebar ke sejumlah provinsi dan negara tetangga, termasuk Malaysia dan Singapura. Maka sudah bisa dipastikan jumlah kerugian dari segi materi bisa lebih dari Rp 20 triliun.
Di samping itu, dampak kabut asap turut membuat sejumlah penerbangan harus berhati-hati saat hendak melewati daerah-daerah yang sedang terkena bencana asap ini. Tak jarang juga, ada penerbangan yang harus dibatalkan. Mengingat tingginya kabut asap membuat jarak pandang sang pilot jadi terhambat. Demi alasan keselamatan, pembatalan penerbangan pun kerap dilakukan.
Tak terhenti sampai di situ, dari sisi pariwisata, kabut asap ini juga berdampak mengurangi kunjungan wisatawan. Logikanya, penerbangan ke sejumlah provinsi yang terkena kabut asap saja banyak yang dibatalkan, maka sudah pasti tingkat kunjungan ke provinsi tersebut turut menurun. Memang, Kebakaran Lahan dan Hutan (Karlahut) tahun 2015 menimbulkan kerugian di beberapa sektor.
Apa sajakah itu?
Sektor ekonomi
Dampak ekonomi bencana kabut asap sebagai akibat Kebakaran Lahan dan Hutan (Karlahut) yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia pada tahun ini ternyata mencapai lebih dari Rp 20 triliun. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), William Rampangilei. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi ketimbang karlahut yang pernah juga menimpa Indonesia di tahun 2014. Pasalnya, tahun ini kabut asap hampir melanda provinsi di Sumatera dan Kalimantan.
Kerugian yang terjadi dalam sektor ekonomi di beberapa provinsi dilakukan berdasar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Masing-masing provinsi mengalami kerugian yang berbeda-beda. Tergantung bulan terjadinya titik api paling banyak terdeteksi, termasuk asap yang melanda daerah tersebut.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan PDRB mencatat perputaran uang dalam suatu daerah. Hal itu termasuk jumlah penerbangan yang gagal terbang, hotel, industri makanan, kontrak bisnis yang batal, atau berkurangnya wisatawan.
“Semua bisa terlihat secara transparan di dalam PDRB”, katanya.
Untuk mengatasi kerugian ekonomi yang kerap melanda beberapa provinsi tersebut, BNPB sudah menganggarkan Rp385 miliar. Nominal tersebut digunakan sebagai langkah pemadaman lahan dan hutan yang terbakar. Dan DPR juga memberi tambahan anggaran sebesar Rp650 miliar demi menanggulangi kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap.
Sektor transportasi
Kabut asap turut memengaruhi sektor transportasi tanah air, khususnya penerbangan. Tingginya kabut asap membuat jarak pandang terganggu. Dan hal tersebut tentu saja menimbulkan kerugian akibat penerbangan delay (penundaan waktu) juga merugikan penumpang yang ingin bepergian tepat waktu, merugikan maskapai penerbangan, serta mengganggu kelancaran aktivitas bandara.
Kerugian yang melanda sektor jasa penerbangan ini diakui oleh PT Angkasa Pura II sebagai pengelola beberapa bandara yang terkena dampak kabut asap. Mereka kehilangan pendapatan, terutama dari Tarif Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara atau biasa dikenal dengan passenger service charge (PSC). Bandara yang terkena dampak buruk akibat bencana kabut asap ini antara lain Palembang, Pontianak, Jambi, dan Pekanbaru.
“Jambi dan Pekanbaru yang paling terkena dampak. Kemarin saja di Pekanbaru ada 20 penerbangan yang batal,” kata Achmad Syahirpada, Manajer Humas Angkasa Pura II Achmad Syahirpada seperti yang dilansir dari BBC Indonesia.
Tim AturDuit melakukan simulasi dengan melihat harga penerbangan sekali jalan dari Jakarta ke Pekanbaru. Harga tiket yang harus dibayarkan penumpang berkisar Rp 530.000. Bila ada 20 penerbangan batal maka kerugian yang dicapai satu maskapai adalah Rp 10.600.000. Itu dalam sehari. Bisa bayangkan kerugiannya jika penerbangan yang batal berlangsung selama seminggu atu berbulan-bulan.
Pengamat penerbangan Gerry Soejatman juga mengatakan, dari sisi maskapai penerbangan, mereka langsung menghadapi kehilangan pendapatan. Pun, ada biaya extra yang harus dikeluarkan maskapai akibat berputar-putar di udara karena harus mencari landasan saat ada kabut asap.
“Pesawat itu harus terbang terus untuk membawa pemasukan. Bila terbang, tapi tak bisa mendarat, berputar-putar, itu juga bahan bakarnya extra,” kata Gerry.
Pesawat-pesawat yang terbang berputar-putar juga akan menaikkan jam terbang sehingga meningkatkan usia pesawat lebih cepat dari seharusnya dan membuat biaya perawatan lebih mahal.
Sektor kesehatan
Akibat kabut asap bagi kesehatan memicu timbulnya berbagai penyakit. Penyakit tersebut adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) serta iritasi mata dan kulit. Kondisi asap yang buruk juga menyebabkan penurunan kadar oksigen udara luar sehingga berdampak buruk buat kesehatan. Makhluk hidup yang kekurangan oksigen atau hipoksia, berpengaruh pada organ-organ tubuh kita.
Secara langsung, bencana ini meningkatkan kasus ISPA di beberapa provinsi. Peningkatannya berkisar rata-rata 15-20% di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Apabila bencana ini belum bisa diatasi maka jumlah tersebut bisa saja meningkat dan makin banyak korban yang mengidap ISPA.
Sebagai solusi untuk menanggulangi bencana ini, Kemenkes mengirimkan bantuan berupa masker dan bahan medis. Total 27,599 ton ke 8 (delapan) provinsi terkena asap, yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Riau, Bangka Belitung, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Bahan medis habis pakai yang didistribusikan di Provinsi Kepulauan Riau antara lain paket obat (antibiotik), masker 100.000 pcs, masker N 95 1.700 pcs.
Sektor pariwisata
Sementara itu, sektor lain yang juga terkena imbas langsung dari bencana kabut asap ini adalah pariwisata. Association of the Indonesia Tours and Travel Agencies (Asita) memperkirakan kerugian sektor pariwisata akibat kabut asap di tiga provinsi terparah yaitu Sumatera Selatan, Riau dan Jambi mencapai Rp5 miliar per hari.
Jumlah tersebut memang sangat besar mengingat wisatawan yang berkunjung ke provinsi tersebut juga cukup banyak. Menurut Asnawi Bahar, Ketua Umum Asita, perkiraan jumlah wisatawan mancanegara yang mengunjungi tiga daerah tersebut jumlahnya sekitar 5.0000 orang per hari.
“Asumsinya uang yang dikeluarkan wisatawan asing dalam sehari bisa mencapai Rp1 juta, dari 5.000 kunjungan wisatawan itu sudah rugi Rp5 miliar sehari.
Kerugian tersebut belum mencakup provinsi tetangga yang juga terkena dampak kabut asap seperti Sumatra Barat, Sumatra Utara, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat. Bila hal ini dibiarkan berlarut-larut maka sangat sulit mencapai target 10 juta kunjungan wisman tahun ini. .
Dikutip dari Sinar Harapan, Ketua Asosiasi Pengusaha Travel Indonesia (Asita) Provinsi Riau, Ibnu Masud, mengatakan perusahaan travel mulai khawatir dampak buruk kabut asap akan menunda keberangkatan Jemaat Calon Haji (JCH) asal Riau yang mengakibatkan kerugian tidak sedikit.
“Kalau ada satu agen travel melayani minimal 40 orang JCH saja, jika tidak bisa terbang kerugian minimal mendekati Rp200 juta. Dan itu kerugian minimal, dan kalau satu minggu ada beberapa grup bisa dibayangkan kerugiannya,” kata Ibnu.
Sektor perdagangan
Jalur distribusi barang dan jasa melalui darat, laut dan udara juga terganggu karena jarak pandang pendek, bahkan termasuk jalur mobilitas warga. Ujung-ujungnya, produktivitas ekonomi terganggu karena tersendat dan macet. Di Provinsi Jambi, lahan kebakaran pada 2015 mencapai 9.149 hektare dengan nilai kerugian Rp 716 miliar. Bila kerugian ditotal dari aspek distribusi, ekonomi, lahan rusak, biaya penanggulangan asap dan lain-lain, maka jumlah kerugian bisa mencapai puluhan triliun rupiah.
Komentar